SEMARANG – Akulturasi budaya antara Jawa dan Islam sudah sedemikian melekat. Termasuk dalam sistem penanggalan. Kini, sistem penanggalan Jawa dan Islam berjalan beriringan. Adalah Raja Mataram Islam yakni Sultan Agung yang mengawinkan tanggalan Islam dengan tanggalan Jawa itu.
“Saat Sultan Agung menjadi raja dia mengawinkan dua sistem penanggalan ini,” kata Budayawan dari Universitas Negeri Semarang, Prof Dr RM Teguh Supriyanto, Rabu (11/8).
Ia bercerita, bulan Muharram atau Suro sering dikenal sebagai bulan dukacita Nabi Muhammad dan keluarganya. Oleh sebab itu, berbagai perayaan atau peringatan dianjurkan untuk ditiadakan seperti tidak boleh menggelar acara khitanan, pernikahan, dan lainnya.
Di sisi lain, lantaran dikenal sebagai bulan duka pada bulan Muharram atau Suro seringkali dilakukan pembersihan. Hal itu ditandai dengan penganut agama Islam melakukan ritual-ritual keagamaan untuk membersihkan jiwa. Sedangkan, di lingkungan keraton waktu itu dimanfaatkan pembersihan beragam pusaka mulai dari keris hingga tombak yang dicuci dengan air bunga. Menurutnya, dalam ritual Jawa itu terselip makna yang bagus di dalamnya.
“Seperti sebuah pusaka pasti merupakan benda tajam, nah artinya itu tajam dalam berpikir, tajam dalam rasa untuk menghadap kepada sang Kuasa,” ujarnya.
Ia berharap, agar di tahun baru Islam dan Jawa ini agar pagebluk segera berakhir. Sebab, hitungan Jawa menyebut tahun baru sudah memasuki Windu Sangcoyo yang artinya bulan yang cerah dan bersinar. Teguh menceritakan, sejak delapan tahun sebelumnya sudah masuk Windu Sengsoro artinya adalah delapan tahun ke belakang kemarin itu banyak penyakit dan sudah terbukti.
“Yang terpenting selalu memohon petunjuk kepada Tuhan yang Maha Kuasa, supaya diberi keberkahan, dan kesehatan. Pesannya, bisa introspeksi diri di awal tahun ini agar kedepannya tidak mengulangi kesalahan yang telah terjadi pada tahun depan. Sehingga, perubahan ke arah yang lebih baik akan terwujud,” pungkasnya. (cr11/git)